Ada suatu keadaan dimana apa yang menjadi kenyataan tidak sejalan dengan perencanaan.

Beberapa orang menanyakan kepadaku, apa yang saat ini aku kerjakan. Mereka ingin tahu banyak bagaimana kehidupanku setelah keluar dari gerbang kampus. Ketika aku menjawab bahwa saat ini aku tengah sibuk mengasuh dua anak dan bekerja dari rumah saja, bisa aku tebak respon dingin mereka.

“Walah, kok sayang banget Mbak sekolahnya, sekolah tinggi-tinggi sampai S2, cuma di rumah saja”

“Mbok coba daftar Mbak ke perusahaan A atau B, gajinya besar loh”

“Apa gak bosan Mbak di rumah, ngurusin anak aja”

…. dan beberapa judgements lainnya.

Wajar jika pertanyaan itu meluncur dari mereka yang memang tidak mengenalku secara dekat. Atau dari mereka yang sudah lama tidak bertemu denganku. Atau dari mereka yang menganggap bahwa bekerja dari rumah adalah sesuatu yang tidak biasa. Bekerja adalah di kantor yang mana perlu seremoni mandi pagi – berangkat naik kendaraan – kerja di kantor – selesai kerja pulang ke rumah naik kendaraan lagi. Begitulah.

Dulu, saat baru lulus kuliah, impianku adalah bekerja kantoran, seperti harapan mereka dan sebagaimana wajarnya mahasiswa yang baru lulus sarjana. Mimpiku memang menjadi wanita karir yang sibuk wara-wiri ke sana ke mari, check in-check out dari satu hotel ke hotel lainnya. Breakfast di tempat A, lanjut lunch di restoran B, dan berakhir dengan dinner di tempat yang berbeda lagi. Senin sampai Jumat akan aku gunakan untuk bekerja secara maksimal dan Sabtu-Minggu akan penuh aku habiskan bersama keluarga.

Aku senang jika jadwalku padat. Semakin padat jadwal kerjaku, maka aku bisa semakin pintar mengatur jadwal. Aku pun menjadi lebih bersemangat dalam bekerja.

Beruntung aku sempat mewujudkan impianku menjadi wanita yang bekerja kantoran. Tiga tahun pertama setelah kelulusan sarjana aku nikmati dengan bekerja. Saking senangnya mewujudkan impian dalam bekerja, aku sempat mengadu peruntungan sampai bekerja di negeri Paman Sam. Siangnya bekerja, malamnya aku ambil kursus Bahasa Spanyol. Walaupun hanya setahun di sana, tapi pengalaman bekerja dengan orang asing telah mengajarkanku banyak hal, termasuk mengiring karirku sekarang sebagai penerjemah.

Baca: Awal Mula Menjadi Penerjemah

Karirku sebagai penerjemah semakin terasah saat aku pulang ke Indonesia dan kemudian bekerja di sebuah konsultan lingkungan di Bogor. Deadline dokumen-dokumen terjemahan yang ketat dan bertumpukan satu sama lain, mengajarkanku bahwa bekerja itu tidak boleh lelet. Usahakan untuk selalu bekerja sesuai dengan target dan bisa selesai sebelum tenggat waktu yang diberikan. Di tempat ini, aku terdidik untuk memanfaatkan waktuku sebaik-baiknya.

Pada suatu kondisi, aku berpikir bahwa aku perlu meng-upgrade ilmuku. Aku ingin mendapatkan tambahan ‘makanan bergizi’ untuk otakku karena zaman yang sudah mulai berubah dan persaingan di dunia kerja semakin mengerikan. Maka aku memutuskan untuk  mengambil kuliah pasca sarjana demi memenuhi kebutuhanku akan hausnya ilmu dan kebutuhan untuk memperluas jaringan.

Alhamdulillah, sekolahku berjalan lancar beriringan dengan pekerjaan. Aku masih bisa kuliah sambil bekerja, walaupun aku bekerja lepas sebagai penerjemah dan research assosiate untuk sebuah perusahaan. Yap, aku memutuskan untuk resign dari konsultan lingkungan tersebut karena ingin lebih konsentrasi dengan dunia baruku.

Kuliah – bekerja, kuliah – bekerja. Saat itu, duniaku penuh dengan jadwal kuliah dan bekerja. Aku merasa sangat bahagia dengan duniaku saat itu. Sibuk sekali sampai waktu berjalan tidak terasa. Puluhan purnama terlewati.

Sampai suatu saat, seorang kerabat dekat menanyakan padaku, kapan aku akan menikah. Jujur, waktu itu aku belum kepikiran untuk menikah. Mau menikah dengan siapa karena memang belum ada yang mengajakku untuk menikah. Saat itu umurku 25 tahun, usia yang menurut kebanyakan orang di Indonesia adalah usia wanita yang sudah matang dan siap untuk menikah.

Singkat cerita, kerabat dekatku ini tertantang untuk mengenalkanku dengan seseorang yang menurutnya high qualified person untuk dijadikan imam dalam hidupku. Pada hari yang sudah ditentukan, kami bertemu. Pertemuan pertama memang begitu berkesan karena melalui pertemuan pertama ini sepertinya getar-getar rasa sudah mulai ada. Setelah itu, kami berproses tidak lama. Sembilan bulan kemudian kami menikah dan seseorang yang dulunya asing sekarang sudah menjadi ayah dari dua orang anakku.

Menjalani episode kehidupan bernama pernikahan berarti berkompromi seumur hidup dengan dia yang sudah aku pilih. Termasuk berkompromi dengan keputusan suami bahwa dia tidak mengizinkan istrinya bekerja di luar rumah. Tugasku sebagai istri adalah merawat anak-anak kami di rumah dan serahkan urusan mencari nafkah kepadanya. Tidak ada kewajiban yang dibebankan kepadaku untuk turut mencari nafkah.

Tidak ada yang salah dengan keputusannya. Ini sudah baik dan memang sudah sesuai dengan kodrat suami dan istri. Memang harusnya seperti itu.

Bertransformasi dari seorang wanita karir yang sibuk dengan berbagai pekerjaan di dunia sebelumnya untuk menjadi ibu rumah tangga bukanlah hal yang mudah bagiku. Setidaknya begitulah yang aku rasakan. Bosan akut dengan kegiatan domestik rumahan sudah menjadi perasaan yang akrab. Mengerjakan kegiatan yang itu-itu saja. Belum lagi anak yang sering menangis dan rumah yang tidak pernah rapih menjadi konsumsi sehari-hari. Aku menjadi ibu yang bersumbu pendek dan mudah marah menjadi akibat dari keputusan ini. Tiada hari tanpa berteriak dan memarahi anak-anak. Aku rasanya seperti singa.

Sumber gambar: www.wsj.com

Beberapa kali aku menangis malam-malam. Aku rindu dengan duniaku sebelumnya. Aku kembali ingin beraktivitas di luaran sana. Ingin bertemu dan mengobrol dengan banyak orang. Menyusun business plan dan mengeksekusinya. Ah, aku rindu…

Berkali-kali aku mengajukan penawaran kepada suamiku agar aku diizinkan untuk bekerja di luar rumah. Berkali-kali juga proposalku itu ditolaknya.

“Tidak, aku tidak mengizikanmu bekerja di luar rumah”

Berat hati. Dengan berat hati aku menerima keputusan suamiku. Sekali bilang tidak, maka selamanya akan tidak. Begitulah karakter suamiku yang kemudian bisa aku selami seiring dengan matangnya usia pernikahan kami.

Berbulan-bulan aku berkompromi dengan keputusan ini. Berbulan-bulan pula aku mencoba memaknai bahwa apa yang sudah diputuskan oleh suamiku sebagai pemimpin keluarga adalah tanggungjawabnya.

“Patuhi suamimu, selama ia benar” – Begitu pesan Bapak kepadaku.

Bahkan Bapak, yang selama berpuluh tahun membiayaiku sekolah pun tidak keberatan dengan keputusan suamiku. Pun Ibuku yang juga seorang wanita karir tidak keberatan anak perempuannya tidak berkarir kantoran. Lalu apa yang aku tangisi? Aku malu dengan kenyataan bahwa aku pernah tidak terima dengan keadaan saat aku tetap harus tinggal di rumah untuk merawat anak-anak. Aku malu aku pernah frustasi dengan keadaan ini.

Sampai suatu ketika aku membaca sebuah quote, entah dimana, aku lupa. Quote tersebut kurang lebih seperti ini bunyinya:

Berhentilah mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan lilin untuk penerangan.

Aku mulai memikirkan quote tersebut siang dan malam. Ada benarnya, bahwa ternyata selama ini aku terlalu fokus memikirkan takdirku harus menjadi ibu rumah tangga yang begini-begini saja. Aku justru tidak memikirkan bagaimana caranya mengubah kehidupan di rumah menjadi lebih istimewa. Aku tidak berusaha menyalakan lilin supaya hidupnya lebih terang dan bercahaya.

“Aku mengizinkanmu bekerja, asal pekerjaannya bisa dikerjakan dari rumah dan tidak meninggalkan kewajiban sebagai istri dan ibu dari anak-anak”

Suamiku memang tidak mengizinkan aku bekerja di luar rumah, terutama pekerjaan yang terikat waktu. Maka jalan tengahnya adalah mencari kesibukan yang bisa dilakukan dari dalam rumah sembari mengasuh anak.

Bisnis usaha jasa konsultasi pembuatan nama bayi secara online kemudian jatuh sebagai pilihan usaha yang aku kembangkan dari rumah. Semua modal usaha disediakan suamiku. Dari mulai komputer, smartphone, meja komputer, layanan internet dan pulsa tiap bulan supaya usahaku lebih lancar.

Baca: Modal Awal Menjadi Freelancer

Saat Awal Membangun Karir Menjadi Konsultan Nama Bayi dan Nama Usaha

Aku  pun diikutkan kursus menyetir supaya aku bisa mobile dan jalan-jalan sesuai kebutuhan tanpa harus tergantung sama suami. Seorang asisten rumah tangga juga telah direkrut suamiku supaya ia bisa membantu meringankan tugas domestikku tiap hari. Dengan semua fasilitas sepert ini, harapannya aku bisa lebih betah di rumah karena ada kesibukan baru di rumah tanpa meninggalkan tugas utama menjadi istri dan ibu dari anak-anak kami.

Sebenarnya, kurang baik apa coba suamiku, sudah menyediakan berbagai fasilitas di rumah supaya aku lebih betah. Ia begitu rela untuk bekerja keluar rumah siang dan malam bahkan sampai tidak pulang beberapa hari untuk mencari nafkah bagi kami. Dia pun tidak merelakan aku capek bekerja terkena panas dan hujan. Aku hanya dimintanya untuk tinggal di rumah fokus mengasuh anak dan mengurus rumah tangga. Lalu aku pun malu karena aku kebanyakan protes.

Sepertinya, masalah memang ada padaku. Mental block, merasa kurang bisa, padahal sebenarnya aku bisa. Kurang bersyukur dengan nikmat yang sudah Allah beri. Suami dan orangtua sering menasehati bahwa banyak wanita diluar sana yang mengincar posisiku. Ingin menjadi seperti aku. Enak tinggal dirumah tanpa perlu naik turun kereta atau berdesak-desakan di bis, kehujanan-kepanasan naik motor, kena asap, jerawatan, polusi, dan sebagainya. Tidak perlu buru-buru dan panik di pagi hari, tidak perlu takut pulang kemalaman. Cukup tinggal dirumah, terima uang dari suami dan suami sudah menjamin kesejahteraan. Toh suami juga tidak pernah meminta uang yang aku dapat hasil dari aku bekerja sendiri selama ini.

Baca: Cara Memulai Bisnis Online bagi Ibu Rumah Tangga

Benar. Aku terlalu melihat apa yang aku tidak punya, padahal terlalu banyak yang sudah aku punyai tapi lagi-lagi aku kurang bersyukur. Suami yang baik, keluarga yang mendukung untuk tetap fokus mengasuh anak, kesehatan yang berlimpah, anak yang sehat dan aktif, serta rezeki yang lancar.

Seorang teman kuliah, menasehati aku. Dia mengatakan bahwa ridhonya istri itu berada di tangan suami. Jika suami mengizinkan, maka aku boleh melakukan. Jika restu tidak dia berikan, turuti saja keputusannya. In Sha Allah nanti akan lebih banyak hikmahnya. Intinya, jadilah istri yang patuh dengan suami.

Nasehat dan peringatan tersebut adalah tamparan bagiku yang cukup menyadarkan. Perlahan-lahan, aku mulai menerima kenyataan ini. Times heal everything. Bersama dengan waktu aku belajar menjadi ikhlas dan berdamai dengan keadaan ini.

Setiap pribadi memang memiliki masalah masing-masing. Ujian kehidupan yang disesuaikan dengan tarafnya. Setiap ujian yang berhasil dilalui akan membawanya ke level yang lebih tinggi. Aku mulai bisa membenahi perasaanku menjadi pribadi yang lebih tenang dan tidak kemrungsung. Yah meskipun aku kadang masih juga marah-marah sama anak, tapi frekuensinya sudah jauh berkurang.

Walaupun ini keadaan yang sulit bagiku, tapi aku juga menjadi tertantang untuk tetap bisa memancarkan pesonaku. Sejak saat itu aku mulai fokus bekerja dari rumah. Aku pun semakin serius menekuni profesi sebagai konsultan nama. Awalnya aku hanya membuka jasa untuk pembuatan nama bayi saja. Tapi kemudian, atas izin Allah SWT, aku jadi bisa membuka konsultasi untuk pembuatan nama perusahaan, brand, produk, dan toko. Aku beberapa kali diundang oleh stasiun TV nasional untuk berbincang seputar nama bayi. Pun beberapa majalah cetak maupun media online pernah meliput usahaku ini. Berkah Allah sungguh banyak. Hasil yang tidak pernah menghianati usaha.

Baca: Suka Duka Menjadi Konsultan Nama

Aku pun mulai lagi bekerja sebagai penerjemah dokumen untuk pasangan Bahasa Indonesia-Bahasa Inggris sebagaimana karir awalku dulu. Aku bangun lagi relasi ke beberapa perusahaan yang membutuhkan bantuan penerjemah. Aku bergabung dengan beberapa grup penerjemah dan juga mulai aktif di agensi penerjemah lokal dan internasional. Alhamdulillah sekarang aku aktif sebagai penerjemah lepas di beberapa perusahaan nasional.

Selain menjadi penerjemah dan membuat usaha konsultasi nama bayi dan nama usaha, aku menterapi diriku dengan menulis. Aku belajar menjadi blogger. Alhamdulillah ternyata banyak juga pekerjaan yang bisa aku lakukan dari rumah. Blog adalah mediaku untuk menuliskan segala unek-unekku. Menuliskan kisah keseharianku dan juga perjalanan-perjalanan keluarga kami. Berharap apa yang aku tuliskan bisa bermanfaat bagi orang lain.

Baca: Ngeblog Tahun Ini Mau Ngapain

Ternyata melalui blog aku juga bisa menambah teman dan membangun jejaring. Aku mulai banyak berkunjung ke blog orang lain dan membaca kisah-kisah hidup mereka yang inspiratif. Sesekali aku juga bisa mendapatkan penghasilan dari ngeblog. Terima kasih blog, sudah menemani kesembuhanku.

Penghargaan Terbaruku dari Ngeblog: Sebagai Pemenang Kedua Lomba Blog Shop&Drive di bulan Februari 2017

Semua hal yang terjadi di dunia ini sudah ada yang atur, kita tinggal menjalani dengan penuh keikhlasan. Berdamai dengan keadaan dan menikmati skenario-Nya adalah akar dari kebahagiaan. Jika kurang sabar, kurang ikhlas, tambah lagi kadar kesabaran dan keikhlasannya. Allah adalah sebaik-baik perencana dan Ia punya rencana terbaik yang kadang tidak dimengerti oleh manusia.

Rumah tangga kita adalah ladang surga.

Rumah tangga adalah ladang pahala bagi istri yang ikhlas dan penuh kesabaran menjalani kehidupan rumah tangganya. Semoga aku bisa sampai ke derajat ikhlas dan sabar ini.

Mereka Sekarang Adalah Sumber Kebahagianku

Begitulah aku, pernah terpuruk dalam sebuah kefrustasian di awal pernikahan saat harus menjadi ibu rumah tangga. Alhamdulillah bagiku sekarang #MemesonaItu adalah ikhlas dan berdamai dengan keadaan. Saat ini aku sangat menikmati peranku sebagai ibu rumah tangga dan juga karirku sebagai penerjemah, konsultan nama, dan blogger. Karir yang bisa aku bangun dari rumah tanpa meninggalkan kewajibanku sebagai istri dan ibu dari dua orang anak.

Aku sudah merasa lebih bahagia sekarang karena aku yakin ibu yang bahagia adalah kunci dari lahirnya generasi yang bahagia pula. Menyalakan lilin sebagai sumber cahaya memang lebih baik daripada terus-terusan mengutuk kegelapan. Bersyukurlah, maka Allah akan menambahkan nikmatNya.

***

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog #MemesonaItu:


19 Komentar

Uwien Budi · 10/04/2017 pada 2:48 pm

Ibu Akmal emang memesona banget ih. Sukses terus ya Teh.

    Armita Fibriyanti · 10/04/2017 pada 4:17 pm

    Makasih Teh Uwien. Teh Uwien juga memesona banget :*

evrinasp · 10/04/2017 pada 8:58 pm

Mitaaa, selama bisa bekerja di rumah bekerjalan di rumah, anak terjaga, hobi tetap dapat dikerjakan, akupun niat mau demikian suatu hari nanti

    Armita Fibriyanti · 10/04/2017 pada 9:57 pm

    Makasih ya Kak Ev supportnya 🙂

ulu · 10/04/2017 pada 10:05 pm

Woooow, Mita keren euy! Ternyata pernah ngalamin juga kangen dgn masa-masa dulu sebelum nikah. Alasan saya gak nambah anak dulu krn emang pgn kerja dulu sih. Walo kerja dr rumah, ttp aja ribet 😀 Heuheuheuheu. Good luck, Mit!

    Armita Fibriyanti · 10/04/2017 pada 10:12 pm

    Iya Lu, aku juga sementara cukup 2 saja dulu.

Kelapa Sawit · 11/04/2017 pada 2:50 pm

makasih mbak sharingnya mga makin sukses yaa

    Armita Fibriyanti · 18/04/2017 pada 1:51 am

    Terima kasih ya

Yasinta Astuti · 11/04/2017 pada 5:29 pm

Sukses selalu ya mba Mita, kita mirip mbak akhirnya blogging menyelamatkan kita ya.

    Armita Fibriyanti · 18/04/2017 pada 1:52 am

    Yeasy, emang blogging ini sesuatu banget ya, Ta 🙂

Nusantara Adhiyaksa · 12/04/2017 pada 3:51 pm

Memesona saat kita bisa memberikan manfaat dan karya yang terbaik ….

    Armita Fibriyanti · 18/04/2017 pada 1:52 am

    Betul 🙂

dhonnies · 17/04/2017 pada 3:56 pm

keren euy, itu namanya ikhlas yang berbalas

    Armita Fibriyanti · 18/04/2017 pada 1:53 am

    Terima kasih 🙂

Tetty Hermawati · 17/04/2017 pada 9:27 pm

Tulisannya keren euy, suara hati aku bangettttt. Sukses terus ya teh Mita 🙂

    Armita Fibriyanti · 18/04/2017 pada 1:55 am

    Teh Tetty juga keren euy 🙂

Si Kado Biru · 20/04/2017 pada 9:00 am

Dapat pencerahan setelah membaca ini. Bener banget, memang otak ini butuh gizi!

Oracle Gamma · 07/05/2017 pada 2:09 pm

Salam kenal mba , artikel nya menarik sekali, Aku mau minta masukan/tanggapan dari Mba, jadi adik aku kelas 9 SMP baru selesai UAN. Ortu mau nya kelas 10 SMA nanti adik aku ini masuk IPA, tapi adik aku mau nya masuk IPS. Alasan dia mau masuk IPS,(ini pemikiran anak kls 9 yah Mba) krn lebih gampang, trus kuliah nya juga mau yg gampang krn dia mau Nikah muda dan jd ibu rmh tangga. Krn kita sama2 tau lah, stereotype anak IPA-IPS. yg IPS dianggap lbh suka main2. Gmn pandangan Mba? Adik aku berpandangan kalau menikah itu satu-satu nya cara supaya nggak usah cape2 sekolah, belajar, ngerjain tugas dsb. aku harus nasehatin apa ke adik aku? Apa jd ibu rumah tangga yg baik bisa dilihat dari sekedar jurusan IPA/IPS aja?

Rahma · 03/09/2017 pada 3:19 pm

Mbak inspiratif banget sih mbak. Di tunggu tulisan selanjutnya mbak .

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.